Selasa, Juni 07, 2011

MEDITASI CINTA TERAKHIR




Aku baru akan mengenakan pakaian itu, Karina, kain celupan berwarna tanah seperti yang telah dikenakan Gotama 2600 tahun yang lalu. Aku baru akan mencukur rambutku, melangkah ke Kavilavastu dan menemukan pohon Bodhiku sendiri, saat kau datang dan merantaiku dengan senyummu.

Aku baru akan melangkah ke Timur, Karina, dipenuhi saddha akan Tiratana, menggumamkan namo tassa, berharap bebas dari roda samsara, saat kau memanggilku dari bawah cahaya matahari senja. Bagaikan utusan Mara, kau datang untuk menggoda, menelan seluruh hasratku dengan tatapanmu.

Perjalananku kini menjadi hanya seokan langkah, dalam lelah, hampir putus asa. Nyanyianmu menggema menulikan telinga, hingga tak lagi aku mampu mendengarkan sabda-sabda mulia.

Ah, Karina, barangkali aku akan kalah. Membiarkan vinana dipenuhi prasangka, menyerahkan diriku pada sankara, menciptakan kamma dalam pusaran hukum abadi Pattica Samupaddha. Jika tidak, kenapa setiap kali kita bersama, aku merasa begitu jauh dari Taman Rusa Isipatana?

Karina, Karina . . . .
Sungguh sangat berat bagiku untuk mengakui bahwa cinta lama yang kau tumbuhkan kembali di dalam hatiku hanyalah tiang-tiang lapuk kenangan dn harapan yang akan menopang dukkha di dalam kekinian kita. Betapa kita sedang menggelar meja pesta dunia untuk mengganti yang sunya dengan yang maya. Membelokkan arah langkah menjauhi Nibbana.

Betapa berat bagiku menggenggam kebenaran agung itu. Sebuah ramalan sederhana, kemampuan mata batin untuk melihat bahwa di ujung jalan yang kelak kita tempuh hanya ada jurang besar punna bhava yang akan menghempaskan kita dalam keperihan jaramarana. Hanya butuh sekejap mata, Karina, sebelum akhirnya kita terlupa.

Tapi dalam dua malam yang sunyi ketika bayanganmu meninggalkan harum bau hati, aku menemukan kembali mimpiku akan keindahan metta Sang Guru. Maka, sambil bersimpuh di kaki-Nya, aku mencoba menguraikan lagi kode-kode rahasia yang telah mempertemukan kita.

Ketaksaan pun terungkap dan kau tak lagi hanya dia yang datang memenuhi pikiran. Seorang gadis manis yang berdiri menghalang di simpang jalan antara rasa bosanku pada kefanaan dengan tujuan pada seluruh keabadiannya.

Aku telah lama berada di jalan itu, Karina. Telah cukup lama. Tapi belum terlalu lama untuk mampu memahami dalam terang vipassana bagaimana setiap lekuk senyum Sang Buddha menghadirkan dirimu kepadaku. Karena kau tak akan ada di sini jika bukan sebagai jawaban terhadap penghentian sunyiku.

Dan bagaimana jika kukatakan padamu bahwa kita pernah bersama di jalan-jalan sunyi itu berkali-kali kehidupan yang lalu? Membuat hidup ini menjadi fana yang berulang dan waktu untuk mengejar baka dalam berganti-ganti rupa serta derita.

Senyummu, Karina, adalah danau air mata seribu kali perpisahan kita dalam berulang-ulang kelahiran demi sekali perjumpaan. Cukuplah sampai di sini, karena kali ini aku ingin istirah di telapak tangan yang sama yang telah membawamu padaku di kehidupanku yang kini.